25-12-2011

1 Rasa dan Pengorbanan


“Pengumunan bagi calon mahasiswa yang telah lulus seleksi pertama harap berkumpul di ruang auditorium segera, karena ada pemberitahuan mengenai seleksi berikutnya.” Suara yang menggema dipenjuru ruangan, yang sejenak menghentikan keributan di ruangan tersebut. “Hore… hore…” teriak salah satu calon mahasiswa dengan kencangnya. “Ssssttt… bisa diam nggak, berisik tau !” bentak teman sebelahnya yang terganggu akibat teriakannya. “Weeeeekkk…” cibirnya sambil meninggalkan ruangan. Ruangan yang tadinya ramai dengan sorokan kegembiraan yang bercampur aduk dengan isak tangis peserta yang kurang beruntung, kini menjadi sepi, sunyi dan senyap bak area pemakaman. ( iiihhh serem !!!) # “Din?” sapa seseorang memanggil namaku. Suaranya terdengar jelas ditelingaku namun aku tidak tahu siapa yang memanggil ?, aku mencari dikerumunan orang – orang yang begitu padat dan ramai tetapi tidak ada yang aku kenal. “Bruukkk…” suara yang terdengar seperti ada sesuatu yang jatuh ke lantai. “Aduh…” keluhku sambil memagang dan mengelus – elus pundakku. Ternyata suara tadi adalah suara tas yang jatuh. Yah… tentunya itu adalah tasku. Ketika aku merunduk ke bawah, mencoba menggapai tas yang berada di lantai, tiba – tiba ada seseorang yang mengambilnya. Aku tersontak kaget, tanganku yang kugunakan untuk menggapai tadi terhenti seperti mesin waktu yang distop beberapa saat, ketika waktu berputar kembali seperti biasa, aku berteriak, “Woy… tasku” sambil menoleh ke arah seseorang yang mengambil tas tadi, aku hanya melihat sebuah senyuman yang menurutku lumayan manis, oops… salah, bukan lumayan manis  tetapi luar biasa manisnya dan satu kata yang terdengar “Maaf”. Aku tak menghiraukan kata itu, aku sungguh terpesona dengan makhuk satu ini. “Ya ampun gantengnya.” Pujiku dalam hati sambil gigit jari melihat pemuda dihadapanku. ( jadi kayak orang bego’ ). “Halo?” katanya sambil melambai – lambaikan tangannya di depan wajahku. “Ada yang sakit?” lanjutnya membuyarkan pendanganku. “E…e…enggak kok.” Jawabku terbatah – batah. ( asli bego’ nih, bukan kayaknya lagi. hahahaaha ). “Oh yah udah, sekali lagi maaf ya?” Kata pemuda itu sambil meletakkan tali tas kepundakku. Dia pun belalu dari hadapanku. “Ehm… namanya siapa ya? Wah… kenapa aku nggak nanya tadi.” Celotehku sambil memukul – mukul dahi sendiri. Aku berjalan menuju kursi yang kosong dengan muka menyesal dan penasaran, aku duduk dengan manis, tatapan ke depan dengan raut muka cemberut. 5 menit… 10 menit… 15 menit telah berlalu namun aku tetap duduk manis, tatapan ke depan dengan muka cemberut persis sama dengan keadaan sebelumnya. “Hai Din... disini rupanya.” Sapa seseorang, namun ku tetap diam, hanya menolehkan kepala ke kanan dan yang ku lihat sesosok gadis cantik dengan rambut terurai panjang. “Hai Ta.” Balasku menyapa. Ini adalah sahabat karibku nama lengkapnya Tari Pratiwi, yang ku sapa dengan nama Tata. Dia bersahabat denganku sejak kecil bahasa kerennya sejak masih ingusan (hehehe). Aku dan Tata selalu sekolah di tempat yang sama, kecuali dijenjang sekolah menengah ke atas. Harapanku, Aku dan Tata mendapatkan perguruan tinggi yang sama, meskipun diprogram yang berbeda. Yah… karena ‘skill’ yang kami punya berbeda. “Din, gimana test berikutnya kita berangkat bareng ya?’ ajak Tata. “Ok!” sahutku sambil mengacungkan jempol. ## Dua bulan berikutnya setelah test terakhir, pengumuman mahasiswa yang lulus di salah satu universitas negeri di kotaku telah dapat diakses melalui internet, dimana aku dan sahabatku Tata ikut dalam test tersebut. Dengan hati penasaran dan jantung yang berdegup kencang yang terdengar “dag dig dug” serta keringat bercucuran menantikan proses ‘loading’ buat membuka daftar nama mahasiswa yang diterima. “Baca Ta, satu persatu, namaku ada nggak?” tanyaku pada Tata yang saat itu dia memagang ‘mousenya’. “Sabar Din.” Jawabnya menenangkanku. “Adi, Agung, …, Bagus, Budi, ehm… Din, namamu ada. Dina Anandaputri.” Kata Tata mengejutkan. “Ha? Beneran Ta?” tanyaku tak percaya. “Iya Din, coba baca sendiri.” Suruh Tata padaku. “Di-na-A-nan-da-pu-tri.’ Ejaku membaca daftar nama itu. “Iya – iya Ta, bener.” Jingkrak – jingkrak kegirangan. Suasana setelah itu menjadi hening karena kami belum menemukan nama Tata, aku sangat berharap sekali Tata juga lulus di universitas yang sama. Berulang – ulang kami membaca. ‘Mouse’ yang dipegang Tata pun aku tarik biar aku yang memainkannya. Mataku dan Tata melotot melihat ke arah monitor mencari, mencari dan mencari. Ketika diulang lagi, ternyata… “Ta, namamu ada nih.” Kataku sambil menarik – narik lengan Tata dengan gemesnya. “Tari Pratiwi” Aku dan Tata sama – sama membaca. Saling menatap dan melepaskan senyuman bahagia yang tak dapat digambarkan dengan kata – kata. ### Liburan telah usai baik itu aku, Tata dan teman – teman lainnya akan membuka lembaran baru menjalani aktivitas yang akan segera dimulai. Dulu selama 12 tahun sekolah harus memakai pakaian seragam, 6 tahun pakai putih merah, 3 tahun putih biru, 3 tahun lagi putih abu – abu dan sekarang… “Bebas” teriakku dalam hati menyambut hari baruku sebagai mahasiswa. #### Empat bulan telah berlalu, mahasiswa sudah sibuk dengan tugasnya masing – masing begitu juga denganku. Disaat pulang kuliah dengan senyum lebar aku menyebrangi jalan, entah apa yang terjadi?, badanku terasa sakit dengan tiba – tiba, terakhir yang kulihat hanya sepatu yang tergeletak disamping kananku, itu sepatu yang biasa aku pakai, lama kelamaan pandanganku menjadi gelap gulita. “Dimana aku?” teriakku ketakutan, tak ada seorang pun yang menjawab pertanyaanku itu, aku juga tak dapat melihat siapa – siapa, tak ada orang disini, hanya gelap tanpa cahaya, begitu hening seperti tak ada kehidupan, aku sangat takut, untuk melihat tubuhku saja aku tak bisa. Tiba – tiba aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh kulitku, perih sekali, aku tak dapat menahannya, ingin rasanya aku menangis sejadi – jadinya, teriak sekencang – kencangnya namun mulutku terasa dibungkam, terasa kaku sekali, aku ingin berontak tapi aku tak mampu tak lama dari itu aku melihat sepercik cahaya, aku mencoba mengikuti cahaya itu, semakin terang yang kulihat dan akhirnya aku melihat sosok pemuda dihadapanku dengan jelas sekali, aku berpikir pemuda ini pernah kulihat, wajah yang berbentuk oval, berhidung mancung, tatapan mata tajam. “Yah…aku ingat.” Desisku. Dia adalah pemuda yang pernah aku temui ketika pengumuman seleksi pertama yang diadakan oleh kampusku. “Iya, nggak salah lagi.” Belaku menyakinkan. “Bagaimana keadaanmu?” Tanya pemuda itu padaku. “Kurang baik, badanku terasa sakit semua, apa yang terjadi?” Balasku. “Entahlah, aku tadi melihat kamu sudah pingsan di jalan jadi aku bawa kamu ke rumahku.” Jelasnya. Aku diam sesaat mencoba mengingat kembali yang telah terjadi padaku, aku melihat tanganku dibalut oleh kain kasa putih, sangat perih dan sakit. Setelah ku merasa sedikit baikan, aku diantar pulang ke rumahku. “Terima kasih.” Ucapku. Dia hanya membalas dengan senyuman, senyuman yang pernah kulihat waktu itu. ##### Keesokkan harinya, aku mengikuti aktivitas di kampus seperti biasanya. Tapi ada yang berbeda, aku merasa semua orang melihat ke arahku, apa mereka melihat balutan yang ada ditanganku? Tapi mengapa harus melihatku seperti itu, layak seorang penjahat saja. “Biasa aja kali.” Gumamku dalam hati sambil menggeleng – gelengkan kepala dan terus berjalan menuju kelas.   “Hai?” sapa seseorang kepadaku tetapi belum sempat aku membalas sapaannya, dia sudah ditarik oleh temannya.  “Adit, sini dulu.” Kata temannya yang menarik lengan orang yang menyapaku tadi. Aku ‘celingak – celinguk’ melihatnya mencari tahu orang yang menyapaku. “Oh… Adit, pemuda itu namanya Adit.” Ucapku sambil melihat pemuda itu berlalu dari pandanganku. “Ehm… selain ganteng, dia juga adalah pahlawan bagiku, menyelamatkanku ketika aku sekarat, seperti cerita dongeng putri tidur yang terbangun dari tidur lamanya ketika mendapatkan ciuman dari sang pangeran yang mencintainya. Oh so sweet.” Khayalanku melambung jauh, memikirkan seseorang yang belum ku kenal sama sekali tetapi kejadian itu sungguh sangat kebetulan atau ini semua telah diatur oleh sang pencipta buat mempertemukan aku dengan pangeranku, ibarat sebuah skenario cerita romantis yang dikhususkan dalam kehidupanku dengan alur yang terus maju mengikuti perputaran rotasi bumi dan waktu. Ini awal cerita yang aku sukai, tokoh utamanya adalah aku, namun tidak ada yang tahu akhir cerita ini, yang tahu hanya pembuat skenario, sad ending ataukah happy ending? “Aaaargh………..” menghela nafas panjang. Aku duduk di dalam kelas, memandangi orang – orang yang berlalu lalang di depan kelasku, mendengar celotehan orang – orang yang terdengar seperti kicauan burung, begitu berisiknya sampai – sampai aku tak menyadari Tata yang telah duduk disampingku sedang mengamati gerak – gerikku dari tadi. “Daaaarrr… ngapain Din? Monyongin bibir kayak giru, ayo ngaku lagi mikirin apaan?” kata Tata mengejutkanku. “Eh… apaan sih!” bantahku cengengesan. “Din, tau nggak?” tanyanya. “Ya mana aku tahu kan belum dikasih tahu.” Jawabku. “Din, ada cowok ganteng banget di kelasku.” Jelas Tata padaku. Aku dan Tata kuliah di kampus yang sama tetapi hanya berbeda fakultas saja, Tata memang suka main ke kelasku, hanya sekedar cerita – cerita dan kali ini aku melihat ada yang berbeda di raut wajah temanku satu ini, seperti terpancar cahaya kebahagiaan. “Din… kayaknya aku jatuh cinta deh, dia itu baik, perhatian, dia tipe aku banget, tau nggak Din? Tatapan matanya itu Din… Ooo… memikat hati, cara dia berbicara, berjalan bahkan sampai cara dia cemberut pun aku suka. Dia sering meminjamkan buku catatannya padaku, belajar bareng dan aku juga pernah ke kantin bareng dia. Ah… bahagia banget.” Curhat Tata. Tetapi belum berhenti disitu saja, ketika kami pulang dan sesampainya di rumahku, Tata mampir sebentar untuk melanjutkan curhatannya. Yah… karena Tata selalu mengantarku pulang dengan sepeda motornya, setiap hati setelah aku mengalami kecelakaan dia selalu mengantarku bukan hanya mengantar saja tetapi menjemputku juga. Tiba di kamarku dia mulai cerita kembali dan ini dia ceritanya. Cekidot !!! “Din.. bagaimana ya biar dia tahu kalau aku menyukainya?” tanyanya padaku. “Iya ditembak aja.” Jawabku singkat. “Eh… enak aja, aku kan cewek.” Lanjut Tata. Aku hanya mengangkat bahu menunjukkan tanda bahwa aku tidak tahu caranya. “Din… bisa – bisa aku tak dapat tidur malam ini, memimpikan sang pangeran hatiku, dia itu berbeda sekali dengan pemuda – pemuda lainnya. Senyumnya itu, manis sekali. Oh pangeranku Adit.” Ceritanya sambil berbaring di kasur tempat peristirahatanku. “Apa?” tanyaku kaget mendengar nama Adit, aku sungguh tidak dapat percaya dengan yang ku dengar. Cerita Tata tadi membuat aku tidak dapat memejamkan mataku, Tata menyukai Adit, kenapa harus terjadi lagi?. Malam terasa sunyi, ku buka jendela, ku tatap bintang di atas langit begitu indahnya, berkelap – kelip memantulkan cahaya, alangkah beruntungnya jika aku menjadi bintang di atas sana dan seakan – akan bintang itu berkataku,”Tersenyumlah”. Suasana malam semakin mencengkam, ku coba untuk menutup mata berharap semuanya hanyalah mimpi, hanya bunga tidurku. Semakin hari yang ku lihat Tata dan Adit semakin dekat, bercanda bersama, membuat aku cemburu dengan kedekatan mereka. Sebenarnya aku ingin sekali menghilang dari peredaran bumi saat ini juga, aku ingin menghapus cerita ini dalam skenario kehidupanku. Dear Diary… Aku begitu menyayangi sahabatku, Tata. Ku bahagia memiliknya. Dia adalah segalanya bagiku, namun kenapa hal ini sering terjadi padaku? Kenapa? Kenapa? Ini bukan yang pertama kalinya aku dan Tata menyukai pemuda yang sama dan sudah kesekian kalinya aku mengalah demi Tata. Apa kali ini aku harus tetap mengalah? Entahlah, mungkin iya, karena aku tak ingin membuat sahabatku sedih, tapi Tata takkan pernah tahu pengorbananku ini, apa mungkin Tata akan membalas semua yang kulakukan? ###### Tiga bulan sudah Tata dan Adit berpacaran, aku harus menerima semua ini, aku bahagia jika sahabatku bahagia walau hatiku menangis. Pagi ini udaranya begitu segar, aku mencoba menenangkan hatiku, menghirup udara pagi, mendengar kicauan burung – burung seolah – olah berkata padaku “Semangat Din!”. “… Sesungguhnya aku tak rela melihat kau dengannya sungguh hati terluka…” dering ponselku. Ketika ku lihat itu telpon dari Tata. Percakapan pun terjadi: Tata: Din, ada jam kuliah pagi nggak hari ini? Aku: Iya ada tapi jam 10. Kenapa Ta? Tata: Oh ya sudah nanti aku jemput ya? Aku sih hari ini lagi kosong, nggak ada jam kuliah. Aku: Yah nggak papa Ta, nggak perlu diantar, kan kamu nggak ada jam kuliah. Tata: Pokoknya aku jemput, tunggu aja. “Tut…tut…tutttt”  suara yang ku dengar, ternyata Tata sudah menutup telponnya, aku sedikit bingung tidak biasanya Tata begini, kalau tidak ada jam kuliah biasanya dia bangun siang tetapi hari ini. “Tumben, tu anak.” gumamku. Sekarang pukul 09.00 wib dan Tata sudah berada di rumahku, berbincang – bincang dengan keluargaku, Tata adalah sahabatku yang sudah aku anggap sebagai saudaraku sendiri makanya aku tak ingin melihatnya sedih. “Yuk, berangkat?” ajaknya. “OK.” Sambutku. Berhubung Tata hanya membawa satu helm jadi aku tidak memakai helm dan itu biasa, setiap kuliah jika diantar dan dijemput Tata, aku tak pernah memakai helm. Tiba – tiba diperjalanan, Tata memberikan helmnya kepadaku. “Pakai Din, pegangan erat – erat.” Perintah Tata padaku. Saat itu aku tak ada firasat sama sekali, Tata memberikan helm dengan senyum khasnya, aku pun menuruti perintah Tata. Laju motor begitu ngebut. “Ta, pelan – pelan.” Kataku kepada Tata, tetapi Tata hanya menjawab, “Pegangan”. Tak lama kemudian kecelakaan pun terjadi. “Gubrak…” suara keras menghantam motor yang dibawa Tata. Kejadian itu terjadi begitu saja, aku melihat Tata tergeletak tak berdaya, aku menghampiri Tata dengan keadaanku yang sedikit lemah dan penuh dengan luka. “Tata…….” Teriakku sambil memangku kepala Tata yang berlumuran darah, aku mencoba membangunkan Tata, ku menangis tiada hentinya meminta Tata untuk bangun, namun Tata tetap diam tak bergerak. Saat itu juga aku tak sadarkan diri. Ketika sadar aku sudah berada di rumah sakit, aku bangkit mencari Tata dan ku lihat, tubuh Tata sudah diselimuti oleh kain putih yang menutupi wajah dan seluruh tubuhnya, aku tak dapat menerimanya. Keluargaku menceritakan bahwa kecelakaan itu terjadi karena rem motor Tata blong. Aku sontak kaget jika aku tahu dari awal, aku tak mau menerima helm yang diberikan Tata padaku. Ternyata ini balasan yang diberikan Tata kepadaku untuk membalas semua pengorbananku selama ini, tetapi bukan ini yang ku pinta, pengorbananku belum seberapa dibandingkan pengorbanan Tata, yang mengorbankan nyawanya demi aku, sedangkan aku hanya mengorbankan perasaan, dan ini akhir skenario kehidupanku, aku kehilangan sahabat untuk selama – lamanya.

0 reacties:

Een reactie posten

1 Rasa dan Pengorbanan


“Pengumunan bagi calon mahasiswa yang telah lulus seleksi pertama harap berkumpul di ruang auditorium segera, karena ada pemberitahuan mengenai seleksi berikutnya.” Suara yang menggema dipenjuru ruangan, yang sejenak menghentikan keributan di ruangan tersebut. “Hore… hore…” teriak salah satu calon mahasiswa dengan kencangnya. “Ssssttt… bisa diam nggak, berisik tau !” bentak teman sebelahnya yang terganggu akibat teriakannya. “Weeeeekkk…” cibirnya sambil meninggalkan ruangan. Ruangan yang tadinya ramai dengan sorokan kegembiraan yang bercampur aduk dengan isak tangis peserta yang kurang beruntung, kini menjadi sepi, sunyi dan senyap bak area pemakaman. ( iiihhh serem !!!) # “Din?” sapa seseorang memanggil namaku. Suaranya terdengar jelas ditelingaku namun aku tidak tahu siapa yang memanggil ?, aku mencari dikerumunan orang – orang yang begitu padat dan ramai tetapi tidak ada yang aku kenal. “Bruukkk…” suara yang terdengar seperti ada sesuatu yang jatuh ke lantai. “Aduh…” keluhku sambil memagang dan mengelus – elus pundakku. Ternyata suara tadi adalah suara tas yang jatuh. Yah… tentunya itu adalah tasku. Ketika aku merunduk ke bawah, mencoba menggapai tas yang berada di lantai, tiba – tiba ada seseorang yang mengambilnya. Aku tersontak kaget, tanganku yang kugunakan untuk menggapai tadi terhenti seperti mesin waktu yang distop beberapa saat, ketika waktu berputar kembali seperti biasa, aku berteriak, “Woy… tasku” sambil menoleh ke arah seseorang yang mengambil tas tadi, aku hanya melihat sebuah senyuman yang menurutku lumayan manis, oops… salah, bukan lumayan manis  tetapi luar biasa manisnya dan satu kata yang terdengar “Maaf”. Aku tak menghiraukan kata itu, aku sungguh terpesona dengan makhuk satu ini. “Ya ampun gantengnya.” Pujiku dalam hati sambil gigit jari melihat pemuda dihadapanku. ( jadi kayak orang bego’ ). “Halo?” katanya sambil melambai – lambaikan tangannya di depan wajahku. “Ada yang sakit?” lanjutnya membuyarkan pendanganku. “E…e…enggak kok.” Jawabku terbatah – batah. ( asli bego’ nih, bukan kayaknya lagi. hahahaaha ). “Oh yah udah, sekali lagi maaf ya?” Kata pemuda itu sambil meletakkan tali tas kepundakku. Dia pun belalu dari hadapanku. “Ehm… namanya siapa ya? Wah… kenapa aku nggak nanya tadi.” Celotehku sambil memukul – mukul dahi sendiri. Aku berjalan menuju kursi yang kosong dengan muka menyesal dan penasaran, aku duduk dengan manis, tatapan ke depan dengan raut muka cemberut. 5 menit… 10 menit… 15 menit telah berlalu namun aku tetap duduk manis, tatapan ke depan dengan muka cemberut persis sama dengan keadaan sebelumnya. “Hai Din... disini rupanya.” Sapa seseorang, namun ku tetap diam, hanya menolehkan kepala ke kanan dan yang ku lihat sesosok gadis cantik dengan rambut terurai panjang. “Hai Ta.” Balasku menyapa. Ini adalah sahabat karibku nama lengkapnya Tari Pratiwi, yang ku sapa dengan nama Tata. Dia bersahabat denganku sejak kecil bahasa kerennya sejak masih ingusan (hehehe). Aku dan Tata selalu sekolah di tempat yang sama, kecuali dijenjang sekolah menengah ke atas. Harapanku, Aku dan Tata mendapatkan perguruan tinggi yang sama, meskipun diprogram yang berbeda. Yah… karena ‘skill’ yang kami punya berbeda. “Din, gimana test berikutnya kita berangkat bareng ya?’ ajak Tata. “Ok!” sahutku sambil mengacungkan jempol. ## Dua bulan berikutnya setelah test terakhir, pengumuman mahasiswa yang lulus di salah satu universitas negeri di kotaku telah dapat diakses melalui internet, dimana aku dan sahabatku Tata ikut dalam test tersebut. Dengan hati penasaran dan jantung yang berdegup kencang yang terdengar “dag dig dug” serta keringat bercucuran menantikan proses ‘loading’ buat membuka daftar nama mahasiswa yang diterima. “Baca Ta, satu persatu, namaku ada nggak?” tanyaku pada Tata yang saat itu dia memagang ‘mousenya’. “Sabar Din.” Jawabnya menenangkanku. “Adi, Agung, …, Bagus, Budi, ehm… Din, namamu ada. Dina Anandaputri.” Kata Tata mengejutkan. “Ha? Beneran Ta?” tanyaku tak percaya. “Iya Din, coba baca sendiri.” Suruh Tata padaku. “Di-na-A-nan-da-pu-tri.’ Ejaku membaca daftar nama itu. “Iya – iya Ta, bener.” Jingkrak – jingkrak kegirangan. Suasana setelah itu menjadi hening karena kami belum menemukan nama Tata, aku sangat berharap sekali Tata juga lulus di universitas yang sama. Berulang – ulang kami membaca. ‘Mouse’ yang dipegang Tata pun aku tarik biar aku yang memainkannya. Mataku dan Tata melotot melihat ke arah monitor mencari, mencari dan mencari. Ketika diulang lagi, ternyata… “Ta, namamu ada nih.” Kataku sambil menarik – narik lengan Tata dengan gemesnya. “Tari Pratiwi” Aku dan Tata sama – sama membaca. Saling menatap dan melepaskan senyuman bahagia yang tak dapat digambarkan dengan kata – kata. ### Liburan telah usai baik itu aku, Tata dan teman – teman lainnya akan membuka lembaran baru menjalani aktivitas yang akan segera dimulai. Dulu selama 12 tahun sekolah harus memakai pakaian seragam, 6 tahun pakai putih merah, 3 tahun putih biru, 3 tahun lagi putih abu – abu dan sekarang… “Bebas” teriakku dalam hati menyambut hari baruku sebagai mahasiswa. #### Empat bulan telah berlalu, mahasiswa sudah sibuk dengan tugasnya masing – masing begitu juga denganku. Disaat pulang kuliah dengan senyum lebar aku menyebrangi jalan, entah apa yang terjadi?, badanku terasa sakit dengan tiba – tiba, terakhir yang kulihat hanya sepatu yang tergeletak disamping kananku, itu sepatu yang biasa aku pakai, lama kelamaan pandanganku menjadi gelap gulita. “Dimana aku?” teriakku ketakutan, tak ada seorang pun yang menjawab pertanyaanku itu, aku juga tak dapat melihat siapa – siapa, tak ada orang disini, hanya gelap tanpa cahaya, begitu hening seperti tak ada kehidupan, aku sangat takut, untuk melihat tubuhku saja aku tak bisa. Tiba – tiba aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh kulitku, perih sekali, aku tak dapat menahannya, ingin rasanya aku menangis sejadi – jadinya, teriak sekencang – kencangnya namun mulutku terasa dibungkam, terasa kaku sekali, aku ingin berontak tapi aku tak mampu tak lama dari itu aku melihat sepercik cahaya, aku mencoba mengikuti cahaya itu, semakin terang yang kulihat dan akhirnya aku melihat sosok pemuda dihadapanku dengan jelas sekali, aku berpikir pemuda ini pernah kulihat, wajah yang berbentuk oval, berhidung mancung, tatapan mata tajam. “Yah…aku ingat.” Desisku. Dia adalah pemuda yang pernah aku temui ketika pengumuman seleksi pertama yang diadakan oleh kampusku. “Iya, nggak salah lagi.” Belaku menyakinkan. “Bagaimana keadaanmu?” Tanya pemuda itu padaku. “Kurang baik, badanku terasa sakit semua, apa yang terjadi?” Balasku. “Entahlah, aku tadi melihat kamu sudah pingsan di jalan jadi aku bawa kamu ke rumahku.” Jelasnya. Aku diam sesaat mencoba mengingat kembali yang telah terjadi padaku, aku melihat tanganku dibalut oleh kain kasa putih, sangat perih dan sakit. Setelah ku merasa sedikit baikan, aku diantar pulang ke rumahku. “Terima kasih.” Ucapku. Dia hanya membalas dengan senyuman, senyuman yang pernah kulihat waktu itu. ##### Keesokkan harinya, aku mengikuti aktivitas di kampus seperti biasanya. Tapi ada yang berbeda, aku merasa semua orang melihat ke arahku, apa mereka melihat balutan yang ada ditanganku? Tapi mengapa harus melihatku seperti itu, layak seorang penjahat saja. “Biasa aja kali.” Gumamku dalam hati sambil menggeleng – gelengkan kepala dan terus berjalan menuju kelas.   “Hai?” sapa seseorang kepadaku tetapi belum sempat aku membalas sapaannya, dia sudah ditarik oleh temannya.  “Adit, sini dulu.” Kata temannya yang menarik lengan orang yang menyapaku tadi. Aku ‘celingak – celinguk’ melihatnya mencari tahu orang yang menyapaku. “Oh… Adit, pemuda itu namanya Adit.” Ucapku sambil melihat pemuda itu berlalu dari pandanganku. “Ehm… selain ganteng, dia juga adalah pahlawan bagiku, menyelamatkanku ketika aku sekarat, seperti cerita dongeng putri tidur yang terbangun dari tidur lamanya ketika mendapatkan ciuman dari sang pangeran yang mencintainya. Oh so sweet.” Khayalanku melambung jauh, memikirkan seseorang yang belum ku kenal sama sekali tetapi kejadian itu sungguh sangat kebetulan atau ini semua telah diatur oleh sang pencipta buat mempertemukan aku dengan pangeranku, ibarat sebuah skenario cerita romantis yang dikhususkan dalam kehidupanku dengan alur yang terus maju mengikuti perputaran rotasi bumi dan waktu. Ini awal cerita yang aku sukai, tokoh utamanya adalah aku, namun tidak ada yang tahu akhir cerita ini, yang tahu hanya pembuat skenario, sad ending ataukah happy ending? “Aaaargh………..” menghela nafas panjang. Aku duduk di dalam kelas, memandangi orang – orang yang berlalu lalang di depan kelasku, mendengar celotehan orang – orang yang terdengar seperti kicauan burung, begitu berisiknya sampai – sampai aku tak menyadari Tata yang telah duduk disampingku sedang mengamati gerak – gerikku dari tadi. “Daaaarrr… ngapain Din? Monyongin bibir kayak giru, ayo ngaku lagi mikirin apaan?” kata Tata mengejutkanku. “Eh… apaan sih!” bantahku cengengesan. “Din, tau nggak?” tanyanya. “Ya mana aku tahu kan belum dikasih tahu.” Jawabku. “Din, ada cowok ganteng banget di kelasku.” Jelas Tata padaku. Aku dan Tata kuliah di kampus yang sama tetapi hanya berbeda fakultas saja, Tata memang suka main ke kelasku, hanya sekedar cerita – cerita dan kali ini aku melihat ada yang berbeda di raut wajah temanku satu ini, seperti terpancar cahaya kebahagiaan. “Din… kayaknya aku jatuh cinta deh, dia itu baik, perhatian, dia tipe aku banget, tau nggak Din? Tatapan matanya itu Din… Ooo… memikat hati, cara dia berbicara, berjalan bahkan sampai cara dia cemberut pun aku suka. Dia sering meminjamkan buku catatannya padaku, belajar bareng dan aku juga pernah ke kantin bareng dia. Ah… bahagia banget.” Curhat Tata. Tetapi belum berhenti disitu saja, ketika kami pulang dan sesampainya di rumahku, Tata mampir sebentar untuk melanjutkan curhatannya. Yah… karena Tata selalu mengantarku pulang dengan sepeda motornya, setiap hati setelah aku mengalami kecelakaan dia selalu mengantarku bukan hanya mengantar saja tetapi menjemputku juga. Tiba di kamarku dia mulai cerita kembali dan ini dia ceritanya. Cekidot !!! “Din.. bagaimana ya biar dia tahu kalau aku menyukainya?” tanyanya padaku. “Iya ditembak aja.” Jawabku singkat. “Eh… enak aja, aku kan cewek.” Lanjut Tata. Aku hanya mengangkat bahu menunjukkan tanda bahwa aku tidak tahu caranya. “Din… bisa – bisa aku tak dapat tidur malam ini, memimpikan sang pangeran hatiku, dia itu berbeda sekali dengan pemuda – pemuda lainnya. Senyumnya itu, manis sekali. Oh pangeranku Adit.” Ceritanya sambil berbaring di kasur tempat peristirahatanku. “Apa?” tanyaku kaget mendengar nama Adit, aku sungguh tidak dapat percaya dengan yang ku dengar. Cerita Tata tadi membuat aku tidak dapat memejamkan mataku, Tata menyukai Adit, kenapa harus terjadi lagi?. Malam terasa sunyi, ku buka jendela, ku tatap bintang di atas langit begitu indahnya, berkelap – kelip memantulkan cahaya, alangkah beruntungnya jika aku menjadi bintang di atas sana dan seakan – akan bintang itu berkataku,”Tersenyumlah”. Suasana malam semakin mencengkam, ku coba untuk menutup mata berharap semuanya hanyalah mimpi, hanya bunga tidurku. Semakin hari yang ku lihat Tata dan Adit semakin dekat, bercanda bersama, membuat aku cemburu dengan kedekatan mereka. Sebenarnya aku ingin sekali menghilang dari peredaran bumi saat ini juga, aku ingin menghapus cerita ini dalam skenario kehidupanku. Dear Diary… Aku begitu menyayangi sahabatku, Tata. Ku bahagia memiliknya. Dia adalah segalanya bagiku, namun kenapa hal ini sering terjadi padaku? Kenapa? Kenapa? Ini bukan yang pertama kalinya aku dan Tata menyukai pemuda yang sama dan sudah kesekian kalinya aku mengalah demi Tata. Apa kali ini aku harus tetap mengalah? Entahlah, mungkin iya, karena aku tak ingin membuat sahabatku sedih, tapi Tata takkan pernah tahu pengorbananku ini, apa mungkin Tata akan membalas semua yang kulakukan? ###### Tiga bulan sudah Tata dan Adit berpacaran, aku harus menerima semua ini, aku bahagia jika sahabatku bahagia walau hatiku menangis. Pagi ini udaranya begitu segar, aku mencoba menenangkan hatiku, menghirup udara pagi, mendengar kicauan burung – burung seolah – olah berkata padaku “Semangat Din!”. “… Sesungguhnya aku tak rela melihat kau dengannya sungguh hati terluka…” dering ponselku. Ketika ku lihat itu telpon dari Tata. Percakapan pun terjadi: Tata: Din, ada jam kuliah pagi nggak hari ini? Aku: Iya ada tapi jam 10. Kenapa Ta? Tata: Oh ya sudah nanti aku jemput ya? Aku sih hari ini lagi kosong, nggak ada jam kuliah. Aku: Yah nggak papa Ta, nggak perlu diantar, kan kamu nggak ada jam kuliah. Tata: Pokoknya aku jemput, tunggu aja. “Tut…tut…tutttt”  suara yang ku dengar, ternyata Tata sudah menutup telponnya, aku sedikit bingung tidak biasanya Tata begini, kalau tidak ada jam kuliah biasanya dia bangun siang tetapi hari ini. “Tumben, tu anak.” gumamku. Sekarang pukul 09.00 wib dan Tata sudah berada di rumahku, berbincang – bincang dengan keluargaku, Tata adalah sahabatku yang sudah aku anggap sebagai saudaraku sendiri makanya aku tak ingin melihatnya sedih. “Yuk, berangkat?” ajaknya. “OK.” Sambutku. Berhubung Tata hanya membawa satu helm jadi aku tidak memakai helm dan itu biasa, setiap kuliah jika diantar dan dijemput Tata, aku tak pernah memakai helm. Tiba – tiba diperjalanan, Tata memberikan helmnya kepadaku. “Pakai Din, pegangan erat – erat.” Perintah Tata padaku. Saat itu aku tak ada firasat sama sekali, Tata memberikan helm dengan senyum khasnya, aku pun menuruti perintah Tata. Laju motor begitu ngebut. “Ta, pelan – pelan.” Kataku kepada Tata, tetapi Tata hanya menjawab, “Pegangan”. Tak lama kemudian kecelakaan pun terjadi. “Gubrak…” suara keras menghantam motor yang dibawa Tata. Kejadian itu terjadi begitu saja, aku melihat Tata tergeletak tak berdaya, aku menghampiri Tata dengan keadaanku yang sedikit lemah dan penuh dengan luka. “Tata…….” Teriakku sambil memangku kepala Tata yang berlumuran darah, aku mencoba membangunkan Tata, ku menangis tiada hentinya meminta Tata untuk bangun, namun Tata tetap diam tak bergerak. Saat itu juga aku tak sadarkan diri. Ketika sadar aku sudah berada di rumah sakit, aku bangkit mencari Tata dan ku lihat, tubuh Tata sudah diselimuti oleh kain putih yang menutupi wajah dan seluruh tubuhnya, aku tak dapat menerimanya. Keluargaku menceritakan bahwa kecelakaan itu terjadi karena rem motor Tata blong. Aku sontak kaget jika aku tahu dari awal, aku tak mau menerima helm yang diberikan Tata padaku. Ternyata ini balasan yang diberikan Tata kepadaku untuk membalas semua pengorbananku selama ini, tetapi bukan ini yang ku pinta, pengorbananku belum seberapa dibandingkan pengorbanan Tata, yang mengorbankan nyawanya demi aku, sedangkan aku hanya mengorbankan perasaan, dan ini akhir skenario kehidupanku, aku kehilangan sahabat untuk selama – lamanya.

0 reacties:

Een reactie posten

Template by:

Free Blog Templates